Bayu Aji Firmansyah resmi lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada pertengahan tahun 2024. Kelulusannya bahkan sempat mendapat perhatian luas dari berbagai media massa.
Namun, seperti diakuinya dengan jujur, “Hal itu sebenarnya membuat saya kesal,” kata Bayu. Ia kesal bukan karena pemberitaan yang salah, tetapi karena media meliput dia hanya karena kondisi disabilitasnya. “Banyak yang lulus cum laude dalam waktu hanya 3,7 tahun tapi tidak diliput” ujar Bayu.
Putra dari pasangan Suparyanta, seorang petani, dan Sri Mulyani, ibu rumah tangga, terlahir tanpa penglihatan. Meski demikian, keterbatasan itu tak menghalangi semangatnya untuk menempuh pendidikan umum hingga akhirnya meraih gelar Sarjana Ilmu Komunikasi di UNY.
Namun, pemberitaan besar itu tidak serta-merta membuat perjalanan hidup Bayu menjadi lebih mudah. Setelah lebih dari satu tahun mencari pekerjaan, belum ada satu pun perusahaan yang bersedia menerimanya.
Kondisi ini mencerminkan realita di Indonesia. Dikutip dari Tempo.co, terdapat 1.040.790 angkatan kerja penyandang disabilitas, di mana 384.607 bekerja di sektor informal dan 112.431 masih menganggur.
(Sumber: Tempo.co)
Sambil menunggu kesempatan kerja, Bayu bergabung dengan Yayasan Mitra Netra dan mengikuti pelatihan programming selama satu tahun.

Pada 29 Oktober 2025, Yayasan Mitra Netra dengan dukungan Nippon Foundation mengadakan Job Fair for The Blind. Dengan penuh semangat, Bayu datang langsung dari Yogyakarta ke Jakarta tanpa pendamping, menuju Hotel Habitare, Rasuna Said, untuk mengikuti wawancara dengan perusahaan peserta. Salah satu perusahaan yang berpartisipasi adalah PT Integritas Makmur Mandiri (Imamatek), pengembang software manufaktur asal Jakarta. Setelah melalui serangkaian proses seleksi, Bayu akhirnya terpilih menjadi Software Tester, menyisihkan empat kandidat tunanetra lainnya.

Tidak berhenti di situ, Imamatek juga mengikuti Job Fair Disabilitas yang diadakan oleh Pemprov DKI Jakarta pada 3 November 2025 di Taman Ismail Marzuki. Pada acara yang dibuka oleh Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung tersebut, Imamatek kembali merekrut satu tunanetra lagi, Faza Fauzan, untuk posisi yang sama.

Menurut Mas Agung Sachli, CEO Imamatek, tunanetra justru memiliki keunggulan unik dalam pengujian perangkat lunak.
“Orang normal mudah terdistraksi oleh form dengan banyak field sehingga ada yang terlewat,” ujar Agung. “Sementara tunanetra menggunakan screen reader, sehingga secara alami mereka menelusuri setiap field tanpa ada yang luput.”
Agung menambahkan,
“Selain teliti, tunanetra juga memiliki etos kerja dan loyalitas yang tinggi — dua hal yang sangat berharga dalam dunia kerja.”

Menurut data dari Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi, dan Energi Provinsi DKI Jakarta, job fair tersebut berhasil menyerap 150 tenaga kerja disabilitas, mayoritas adalah tuna daksa dan tuna rungu, sementara hanya dua orang tunanetra yang diterima.
(Sumber: Detik.com dan wawancara langsung)
Aria Indrawati, Kepala Humas Yayasan Mitra Netra dan mantan Ketua Persatuan Tunanetra Indonesia, mengungkapkan bahwa rendahnya penyerapan tenaga kerja tunanetra disebabkan masih minimnya pemahaman perusahaan tentang kemampuan mereka.
“Tunanetra juga mampu bekerja menggunakan teknologi komputer. Sayangnya, banyak perusahaan yang belum paham, sehingga memilih menolak,” ujar Aria.
“Jika tidak tahu, seharusnya mereka bertanya, mencari tahu, dan mencoba. Itulah yang dilakukan Imamatek. Awalnya mereka juga belum tahu, tapi ketika ada pelamar tunanetra, mereka memberi kesempatan dan ternyata kompeten. Sikap seperti ini masih sangat langka di Indonesia.”
Semoga semakin banyak perusahaan di Indonesia yang membuka kesempatan bagi tenaga kerja difabel — bukan karena terpaksa atau iba, tetapi karena menyadari mereka membawa nilai dan manfaat nyata bagi perusahaan.
